Senin, 21 November 2011

ARTIKEL HAKI

bagi anda yang belum tahu tentang HAKI, mengkin artikel saya mengenai HAKI ini dapat memberikan pencerahan untuk anda. simaklah baik-baik.

A. PENGERTIAN
Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat ‘HKI’ atau akronim ‘HaKI’ adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.
Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Secara garis besar HAKI dibagi dalam dua bagian, yaitu:

1. Hak Cipta (copy rights)


2. Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup:
• Paten;
• Desain Industri (Industrial designs);
• Merek;
• Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition);
• Desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit);
• Rahasia dagang (trade secret);
Di Indonesia badan yang berwenang dalam mengurusi HaKI adalah Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disebut Ditjen HaKI mempunyai tugas menyelenggarakan tugas departemen di bidang HaKI berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan Menteri.
Ditjen HaKI mempunyai fungsi :
a. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan teknis di bidang HaKI;
b. Pembinaan yang meliputi pemberian bimbingan, pelayanan, dan penyiapan standar di bidang HaKI;
c. Pelayanan Teknis dan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal HaKI.


Di dalam organisasi Direktorat Jenderal HaKI terdapat susunan sebagai berikut:
a. Sekretariat Direktorat Jenderal;
b. Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, tata letak Sirkuit terpadu, dan Rahasia Dagang;
c. Direktorat Paten;
d. Direktorat Merek;
e. Direktorat Kerjasama dan Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual;
f. Direktorat Teknologi Informasi;

Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Astablishing the World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian terpenting darti persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu :
a. Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;
b. Patent Coorperation Treaty (PCT) and Regulation under the PTC, dengan Keppres NO. 16 Tahun 1997;
c. Trademark Law Treaty(TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
d. Bern Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works dengan Keppres No. 18 tahun 1997;
e. WIPO copyrights treadty (WCT) dengan Keppres No. 19 tahun 1997;
Di dalam dunia internasional terdapat suatu badan yang khusus mengurusi masalah HaKI yaitu suatu badan dari PBB yang disebut WIPO (WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATIONS). Indonesia merupakan salah satu anggota dari badan tersebut dan telah diratifikasikan dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention establishing the world Intellectual Property Organization, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Memasuki millenium baru, hak kekayaan intelektual menjadi isu yang sangat penting yang selalu mendapat perhatian baik dalam forum nasional maupun internasional. Dimasukkannya TRIPs dalam paket persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan dimulainya era baru perkembangan HaKI diseluruh dunia. Dengan demikian saat ini permasalahan HaKI tidak dapat dilepaskan dari perdagangan dan investasi. Pentingnya HaKI dalam pembangunan ekonomi dalam perdagangan telah memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang berdasar ilmu pengetahuan

HaKI, Pembajakan, dan Proses Belajar: Sebuah Renungan
Membicarakan HaKI adalah hal yang rawan, terutama di Indonesia. Di negeri yang digelari surga bagi pembajak oleh negara-negara maju, nampaknya menegakkan HaKI adalah bagai menegakkan benang basah. Namun, itu bukannya tidak pernah dilakukan. Pertengahan 80-an, diterapkan aturan baru untuk hak cipta di bidang rekaman kaset musik (barat). Toh, sampai sekarang mekanisme itu masih bekerja, meskipun pembajakan musik bergerak ke arah yang lebih canggih, semacam CD dan Mp3. Belum lagi kita membicarakan pembajakan VCD dan DVD meskipun telah diterapkan aturan hak cipta di bidang ini juga. Nyatanya, peredaran VCD dan DVD legal pun masih cukup lancar. Perbedaan sistem distribusi antara musik dan film, yang mengharuskan film beredar minimum 6 bulan di layar bioskop sebelum diedarkan dalam bentuk video/VCD/DVD, berbeda dengan musik yang bisa langsung dinikmati fresh from the oven, selain itu, harga VCD/DVD asli yang masih dirasa mahal (walau sebenarnya relatif lebih murah apabila kita bandingkan dengan CD musik), serta iklim perbioskopan nasional yang kian lesu, membuat konsumen lari ke VCD/DVD bajakan yang lebih aktual menyajikan film-film terbaru.
Lalu bagaimana dengan perangkat lunak komputer? Masalah ini sampai saat ini belum terpecahkan dengan tuntas. Bahkan, konon, pengesahan Undang-Undangnya di DPR masih terhambat, akibat perdebatan soal penegakannya. Sebagian (besar) anggota DPR menyadari akibatnya jika ini diterapkan secara 'saklek', mengingat tingkat pembajakan perangkat lunak di Indonesia yang mencapai 89% (ketiga terbesar di dunia), maka dikhawatirkan dunia teknologi informasi di Indonesia akan macet total, mulai dari institusi pendidikan, instansi pemerintah dan perusahaan swasta, sampai ke individu rumah tangga akan terkena dampaknya. Yang lebih dikhawatirkan, penerapan UU Hak Cipta untuk perangkat lunak ini akan membawa kita kembali ke zaman kegelapan informasi, karena hanya pihak-pihak tertentu saja yang mampu memanfaatkan teknologi terbaru di bidang komputer, belum lagi mengingat berapa banyak orang yang harus dihukum karena membajak, sadar ataupun tidak, sehingga penjara-penjara kita penuh semua (!). Berlebihan ? tidak juga, jika kita mencermati lisensi yang tercantum di sebagian besar perangkat lunak yang kita gunakan sehari-hari, definisi pembajakan sangatlah luas dan benar-benar membatasi ruang gerak kita, walaupun kita sudah membeli perangkat lunak asli, kita tidak boleh memperlakukannya semau kita. Kita tidak boleh memasangnya di lebih dari satu perangkat komputer, menyewakannya (rental), membuat salinan dan meminjamkannya, atau kalau mau lebih rumit lagi, baca saja EULA atau License Agreement yang tercantum di setiap program yang kita instal (biasanya pada waktu instalasi pertama).
Terakhir, dan ini mungkin tidak banyak disadari oleh para praktisi TI (programer, analis sistem, administrator sistem, webmaster, dll), seberapa pantas kita mencari makan dari hasil belajar kita dengan mempergunakan software bajakan? Atau menghasilkan karya (program, situs web) menggunakan program bajakan dan menjualnya secara komersial? Atau mengabdikan diri kita dalam bidang pemrograman yang bergantung sepenuhnya pada produk bajakan? (misal Visual Basic, Delphi, Visual C++, Borland C++, Oracle, dsb). Terus terang, bagi penulis itu merupakan ganjalan (atau lebih tepatnya pemaafan) untuk mempelajari bahasa pemrograman tertentu. PEnulis taktu menjadi sangat bergantung pada produk tertentu, meskipun (konon) banyak dicari. Sejauh ini penulis mempelajari desain web (HTML, JavaScript) dan berniat mempelajari pemrograman web (PHP, Perl, MySQL, Java) dan mengenai administrator jaringan, yang banyak berbasiskan software open source dan tidak kalah bagus pasarannya. Lebih jauh lagi, menyangkut pembelajaran dengan produk fotokopi, dalam hal ini textbook kuliah. Konon, tidak apa-apa membuat kopian textbook, selama tidak dikomersialkan. Tapi bukankah Jer Basuki Mawa Bea ?
Penulis tidak ingin melanjutkan artikel ini dengan khotbah mengenai keunggulan software open source karena harganya murah, bahkan nyaris gratis, handal, bebas dioprek, dikopi, dibagi-bagi, dan dijamin halal. Penulis lebih menekankan pada proses belajar, bahwa gagasan free software yang dipelopori Richard Stallman dengan projek GNU-nya, yang pada akhirnya melahirkan sistem yang kita kenal sebagai GNU/Linux, adalah karena pendapatnya bahwa software seharusnya bebas dipelajari. Tekanan pada proses belajar adalah titik berat gerakan free software, bahwa kebebasan untuk mendapatkan source code, mengutak-atiknya, membagikannya pada orang lain, dan menyebarkannya ke seluruh dunia adalah dijamin sepenuhnya. Dan bukankah itu akan membuat proses belajar lebih menyenangkan? Kita tidak perlu pusing memikirkan lisensi apa yang melekat pada software yang kita gunakan, yang kita pelajari, bukan sekadar biaya yang harus kita keluarkan. Berbeda dengan jargon open source yang lebih ditujukan untuk kepentingan bisnis, free software menurut penulis lebih berorientasi pada pembelajaran, pada proses menemukan kembali, menggabungkan atau memisahkan kode tertentu untuk menghasilkan software baru. Dan semua itu dilakukan dengan satu semangat, untuk berbagi pengetahuan dengan orang lain. Di situlah inti dari gerakan free software, yang kadang-kadang membuat bingung banyak orang yang selama ini terbiasa memandang software hanya dari sisi bisnis saja.
Di saat software dibuat untuk dijual, maka tidak tersisa lagi semangat pembelajaran di situ. Banyak vendor menyediakan versi akademik atau demo yang khusus digunakan di kalangan pendidikan. Namun biasanya versi ini justru lebih terbatas daripada versi komersialnya, baik dalam fasilitas, penggunaan, maupun akses ke source code yang biasanya tidak ada atau dibatasi. Karena tujuan vendor adalah untuk menjual versi komersialnya saat para penggunanya beranjak ke dunia bisnis, maka mekanisme seperti ini biasanya terasa kurang adil bagi user. Mereka dididik untuk bergantung pada produk tertentu saja, bukan pada proses memanfaatkan teknologi informasi itu untuk menyelesaikan masalah. Tentu saja, siapapun berhak mencari makan dari bisnis perangkat lunak ini, hanya seberapa jauh damapk penggunaan perangkat lunak ini mampu membuat manusia menjadi lebih manusiawi, dalam arti mampu membuatnya berkembang dan belajar, daripada sekadar memperbudak.


Perlindungan HaKI, PR Pemerintahan Baru
Wawan Iriawan dan Nurmansyah
ELAMA ini berbagai usaha untuk menyosialisasikan penghargaan atas Hak atas Kekayaaan Intelektual (HaKI) telah dilakukan secara bersama-sama oleh aparat pemerintah terkait beserta lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat. Akan tetapi sejauh ini upaya sosialisasi tersebut tampaknya belum cukup berhasil.
Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, konsep dan perlunya HaKI belum dipahami secara benar di kalangan masyarakat. Kedua, kurang optimalnya upaya penegakan, baik oleh pemilik HaKI itu sendiri maupun aparat penegak hukum. Ketiga, tidak adanya kesamaan pandangan dan pengertian mengenai pentingnya perlindungan dan penegakan HaKI di kalangan pemilik HaKI dan aparat penegak hukum, baik itu aparat Kepolisian, Kejaksaan maupun hakim.
Dalam praktik pergaulan internasional, HaKI telah menjadi salah satu isu penting yang selalu diperhatikan oleh kalangan negara-negara maju di dalam melakukan hubungan perdagangan dan/ atau hubungan ekonomi lainnya. Khusus dalam kaitannya dengan dengan Amerika Serikat misalnya, hingga saat ini status Indonesia masih tetap sebagai negara dengan status 'Priority Watch List' (PWL) sehingga memperlemah negosiasi.
Globalisasi yang sangat identik dengan free market, free competition dan transparansi memberikan dampak yang cukup besar terhadap perlindungan HaKI di Indonesia. Situasi seperti ini pun memberikan tantangan kepada Indonesia, di mana Indonesia diharuskan untuk dapat memberikan perlindungan yang memadai atas HaKI sehingga terciptanya persaingan yang sehat yang tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Lebih dari itu, meningkatnya kegiatan investasi yang sedikit banyak melibatkan proses transfer teknologi yang dilindungi HaKI-nya akan terlaksana dengan baik, apabila terdapat perlindungan yang memadai atas HaKI itu sendiri di Indonesia.
Mengingat hal-hal tersebut, tanpa usaha sosialisasi di berbagai lapisan masyarakat, kesadaran akan keberhargaan HaKI tidak akan tercipta. Sosialisasi HaKI harus dilakukan pada semua kalangan terkait, seperti aparat penegak hukum, pelajar, masyarakat pemakai, para pencipta dan yang tak kalah pentingnya adalah kalangan pers karena dengan kekuatan tinta kalangan jurnalis upaya kesadaran akan pentingnya HAKI akan relatif lebih mudah terwujud.
Upaya sosialisasi perlu dilakukan oleh semua stakeholder secara sistematis, terarah dan berkelanjutan. Selain itu target audience dari kegiatan sosialisasi tersebut harus dengan jelas teridentifikasi dalam setiap bentuk sosialisasi, seperti diskusi ilmiah untuk kalangan akademisi, perbandingan sistem hukum dan pelaksanaannya bagi aparat dan praktisi hukum, dan lain-lain.
Instrumen Perlindungan
HaKI adalah instrumen hukum yang memberikan perlindungan hak pada seorang atas segala hasil kreativitas dan perwujudan karya intelektual dan memberikan hak kepada pemilik hak untuk menikmati keuntungan ekonomi dari kepemilikan hak tersebut. Hasil karya intelektual tersebut dalam praktek dapat berwujud ciptaan di bidang seni dan sastra, merek, penemuan di bidang teknologi tertentu dan sebagainya.
Melalui perlindungan HaKI pula, para pemilik hak berhak untuk menggunakan, memperbanyak, mengumumkan, memberikan izin kepada pihak lain untuk memanfaatkan haknya tersebut melalui lisensi atau pengalihan dan termasuk untuk melarang pihak lain untuk menggunakan, memperbanyak dan/atau mengumumkan hasil karya intelektualnya tersebut.
Dengan kata lain, HaKI memberikan hak monopoli kepada pemilik hak dengan tetap menjunjung tinggi pembatasan-pembatasan yang mungkin diberlakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak cipta memberikan perlindungan terhadap karya musik, karya sastra, drama dan karya artistik, termasuk juga rekaman suara, penyiaran suara film dan pertelevisian program komputer. Di samping hak cipta, ada pula hak atas merek yang pada dasarnya memberikan perlindungan atas tanda-tanda (berupa huruf, angka, dan sebagainya) yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga demensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi.
Selain itu juga dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan. Untuk suatu invensi baru di bidang teknologi, perlindungan paten dapat diberikan.
Selain hak-hak itu, perlindungan diberikan pada unsur-unsur lain dalam HaKI, seperti desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varietas tanaman baru, untuk mencegah pihak lain memanfatkan dengan tujuan komersial tanpa izin sah dari pemegang hak. Dari kesemua hak yang disebutkan di atas, hampir semuanya memerlukan pendaftaran dari si pemilik hak agar dapat memperoleh perlindungan.
Langkah Nonlegal
Berdasarkan praktik, belum begitu memasyarakatnya HaKI menyebabkan perlindungan yang diberikan pemerintah belum optimal. Untuk itu pemilik hak perlu melakukan langkah-langkah non-legal untuk menegaskan kepemilikan haknya, dan juga menegaskan kepada pihak-pihak lain bahwa mereka akan mengambil tindakan yang tegas terhadap segala upaya penggunaan atau pemanfaatan secara tidak sah atas haknya tersebut.
Dalam sebuah seminar, praktisi HaKI, Justisiari P Kusumah menegaskan bahwa upaya perlindungan HaKI di Indonesia tidak cukup dengan menyerahkan perlindungan kepada aparat atau sistem hukum yang ada, tetapi perlu langkah-langkah non-legal. Langkah itu di antaranya adalah pemberian informasi mengenai kepemilikan HaKI oleh pemilik hak, survei lapangan, peringatan kepada pelanggar, dan sebagainya.
Harus kita akui, sampai sekarang keberadaan produk-produk yang melanggar HaKI, khususnya merek dan hak cipta dengan sangat mudah bisa kita dapatkan. Mulai di tempat perbelanjaan kelas bawah hingga mal dan pusat perbelanjaan mewah. Contohnya produk software, musik dan film VCD atau DVD.
Bahkan baru-baru ini di media massa ditemukannya pelanggaran atas merek terhadap produk suku cadang Daihatsu. Beruntung pemilik merek segera melaporkan pemalsuan tersebut ke Kepolisian sehingga ada pelanggar yang bisa diadili di Pengadilan Negari Jakarta Barat dan beberapa kali muncul permohonan maaf dari para pelanggar yang menjual produk palsu tersebut.
Namun apakah upaya pemilik hak atas merek Daihatsu itu mendapatkan respon yang baik dari penegak hukum? Tentunya itulah harapan kita semua. Jika tidak, upaya yang dilakukan pemegang merek akan sia-sia dan itu akan menurunkan upaya penegakan hukum di negeri ini. Karena persoalan tersebut menyangkut investasi dan sorotan dunia internasional dalam menegakkan HaKI di Indonesia.
Pemerintahan baru dalam Kabinet Indonesia Bersatu, hendaknya melihat upaya penegakan hukum sebagai peristiwa yang penting untuk memulihkan citra Indonesia di mata dunia, khususnya mata investor. Sangat diharapkan, pemerintahan baru dapat melanjutkan komitmen dalam penegakan perlindungan HaKI.
Sebagaimana dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanyenya beberapa waktu lalu, masalah pembajakan yang tidak lepas dari HaKI akan menjadi salah satu agenda untuk segera ditanggulangi, di samping sejuta masalah lain yang tengah dihadapi oleh negeri tercinta ini.
Komitmen aparat pemerintah dan kepolisian, yang merupakan salah satu elemen kunci dalam penegakan HaKI di Indonesia sangat diharapkan konsistensinya. Lembaga peradilan tentu saja tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab atas suksesnya penegakan HaKI di Indonesia.


Pembajakan HAKI Masih Tinggi
E-8


Banyaknya kasus pembajakan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), terutama hak cipta dan merek, di Indonesia disebabkan tidak optimalnya penegakan hukum terhadap pelaku pembajakan.
"Dalam hal pembajakan di Indonesia, penegakan hukumnya kurang, tidak tegas, tidak fokus," kata Farouk Cader, konsultan kebijakan Business Software Alliance (BSA), kepada wartawan di Mabes Polri, Rabu (2/3).
BSA merupakan organisasi terkemuka yang secara konsisten mendukung penciptaan dunia digital yang aman dan legal.
BSA mewakili industri peranti lunak komersial dunia serta para mitranya di industri peranti keras dalam interaksinya dengan pihak pemerintah serta dalam pasal internasional.
Farouk mengatakan itu sesaat sebelum Mabes Polri menggelar konferensi pers mengenai keberhasilan Polri menangkap enam tersangka pelaku pembajakan hak cipta program komputer (peranti lunak tingkat retail) serta menyita sejumlah barang bukti, beberapa hari lalu.


Peran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Dalam Dunia Pendidikan
Label: 18071115 Moch. Ekky Fedirtoch P
Jumat, 13 November 2009
Seperti kutipan, “jika ada pelajaran selama setengah abad yang lalu mengenai perkembangan ekonomi adalah bahwa sumber daya alam tidak menggerakkan ekonomi; sumber daya manusia yang melakukan itu” (The Washington Post edisi 28 April 2001). Maka dari itu pengembangan SDM mutlak perlu, agar dapat memanfaatan SDA yang ada dan tidak hanya tergantung pada keahlian atau pengetahuan SDM asing.

Presiden Nyrere pernah mengungkapkan, alih teknologi merupakan kewajiban hukum dari negara maju ke negara berkembang; jadi bukan atas dasar belas kasihan. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights sendiri menekankan sistem HaKI dimaksudkan untuk “contribute to the promotion of technology, to the mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner conductive to social and economic welfare, and to a balance of rights and obligations”.

Modal intellectual capital akan menjadi lebih penting dan strategis fungsinya, bila dibandingkan dengan physical capital, yang sebelumnya menjadi sumber utama proses produk barang-barang konsumsi untuk kesejahteraan umat manusia.

Secara historis, undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791.

Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta. Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB yang menangani masalah HaKI anggota PBB.

Beberapa istilah yang penting dan terkait dengan HAKI. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Setidaknya ada beberapa keuntungan dalam penegakan HAKI, yang dapat berpengaruh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Seperti adanya perlindungan karya tradisional bangsa Indonesia, mencegah pencurian karya lokal yang umumnya masuk kategori paten sederhana dan penemuan-penemuan baru. Adanya masukan pendapatan untuk para penemu/pencipta. Meningkatkan intensif untuk terus berkarya bagi penemu paten, baik yang dari kalangan pemerintah maupun yang swasta dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi. Di samping itu sistem HaKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau hasil karya lainnya yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi. Meningkatkan pemahaman hukum HAKI pada aparat hukum dan masyarakat.

Pelanggaran HAKI berupa pembajakan (piracy), pemalsuan dalam konteks Hak Cipta dan Merek Dagang (counterfeiting), pelanggaran hak paten (infringement) jelas merugikan secara signifikan bagi pelaku ekonomi, terutama akan melukai si pemilik sah atas hak intelektual tersebut. Begitupun konsumen dan mekanisme pasar yang sehat juga akan terganggu dengan adanya tindak pelanggaran HAKI.

Menurut Prof Philip Griffith, sesungguhnya hak cipta dikedepankan pertama kali, untuk menciptakan balance antara beberapa kepentingan yang saling terkait dan berkonflik di seputar karya sastra. "Pertama, kepentingan penulisnya sendiri, yang pasti menganggap bahwa karya sastra adalah 'bagian dari dirinya' yang dimaterialisasikan. Lalu, hak penerbit untuk ikut mendapat keuntungan melalui jasanya mereproduksi karya sastra tersebut, dan ketiga hak masyarakat untuk menikmati karya sastra itu,".

Penyebab utama masih rendahnya tingkat pengajuan paten oleh peneliti Indonesia, yaitu antara lain:

Pertama, Faktor masih relatif rendahnya insentif atau penghargaan atas karya penelitian oleh Pemerintah hingga pada akhirnya kurang memicu peneliti dalam menghasilkan karya ilmiah yang inovatif.

Kedua, Porsi bidang riset teknologi yang kurang dari anggaran Pemerintah - amat jauh tertinggal dari rata-rata angka riset negara-negara industri maju umumnya - hanya akan mewariskan lingkungan yang tidak kondusif dalam menumbuhkan SDM yang berkualitas kemampuan ilmu yang tinggi.

Ketiga, Para peneliti juga sering kurang menyadari pentingnya perlindungan paten atas penemuannya.

Keempat, Jarak lokasi tempat kerja peneliti yang tersebar di berbagai pelosok daerah menyebabkan pos pengeluaran biaya perjalanan untuk pengurusan paten menjadi hambatan tersendiri.

Achmad Zen Umar Purba menandaskan pentingnya pembudayaan HAKI dalam masyarakat. Masyarakat harus menyadari bahwa HAKI merupakan aset yang secara hukum berada dalam kewenangan penuh pemiliknya. Temuan yang sudah dijamin dengan HAKI-dalam bentuk paten atau hak cipta-tidak bisa diklaim lagi oleh pihak lain. "Masyarakat tradisional masih beranggapan, bahwa semakin banyak orang meniru karyanya akan semakin baik bagi dirinya. Ini hanya bisa dihilangkan dengan penumbuhan budaya HAKI. Karena akan disayangkan apabila sebuah temuan akhirnya diklaim pihak lain, termasuk orang asing gara-gara tidak dipatenkan,".

Dalam Undang-Undang Hak Cipta No. 19 tahun 2002, Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; lagu atau musik dengan atau tanpa teks; drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; arsitektur; peta; seni batik; fotografi; sinematografi; terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Undang-Undang Hak Cipta No. 19 tahun 2002, juga memuat tentang Pembatasan Hak Cipta yang terkait dengan pendidikan. Yang terdapat pada BAB II Lingkup Hak Cipta, Bagian Kelima Pembatasan Hak Cipta, Pasal 15. Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, Seperti : penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta; pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya. Sedangkan dalam Pasal 16, Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat: mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan; atau mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut. Dan dapat juga menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut.

REFERENSI
A. Zen Umar Purba, Perlindungan Dan Penegakan Hukum Haki, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Makassar, 20 November 2001.
_____, Hak Kekayaan Intelektual Dan Perjanjian Lisensi, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Jakarta, November 2001.
_____, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Jakarta, 29 Januari 2002.
_____, Sistem Haki Nasional Dan Otonomi Daerah, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Manado, 18 Februari 2002.
_____, Interdependensi Dan Kreativitas, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI.
Agus Fanar Syukri, HAKI: The Basis of National Science and Technology Development, PROCEEDINGS OF
THE 9TH SCIENTIFIC MEETING, TEMU ILMIAH TI-IX PPI 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar